Cerita Pendek: Jendela Tanpa Cahaya


Katanya, aku anak yang beruntung. Saat seharusnya aku ada di jalanan tanpa siapa-siapa yang perduli, ada orang baik yang mendatangiku, dan mengulurkan tangan. Kak Lein –orang yang mengurus kami di rumah tua ini– hanya berkata dengan nada tak percaya, “Tuhan akhirnya mengirimkan malaikat untuk kita.” Lalu kami –aku, Kak Lein, Cia dan Pia– berangkat bersama orang itu ke tempat yang katanya semuanya lebih baik. Aku tentu tak tahu ke mana perjalanan ini. Aku hanya mendengar suara jalanan yang semula gaduh dengan suara klakson dan teriakan pedagang, tiba-tiba menjadi begitu senyap. Bahkan suara Kak Lein yang biasanya terus bicara, juga tak kudengar dalam waktu yang lama. Kami kemudian tiba di tempat itu, sebuah rumah yatim piatu –yang kata Kak Lein– sangat besar dan bersih. Kami ditempatkan di dalam satu kamar yang diisi 2 tempat tidur bertingkat. Saat Kak Lein membimbingku untuk membaringkan tubuh di salah satu pembaringan, aku seperti tidur di atas tumpukan kapas yang begitu lembut. Kubayangkan, kini tak ada lagi alam terbuka, tak ada lagi tikar berkutu yang selalu menyerang di malam-malam nyenyakku. Sungguh, aku yakin, malam nanti aku akan tidur dengan nyenyak, sama seperti Kak Lein, Cia dan Pia. Keterkejutan kami tak hanya sampai di situ, tapi juga saat waktu makan tiba. Kami menuju ruang makan –yang kata Kak Lein lagi– sangat luas dengan meja-meja panjang yang berderet dan dipenuhi belasan anak lainnya yang seumuran dengan kami. Hanya perlu beberapa waktu saja kami mengantri untuk mengambil makanan. Lidahku langsung mengenali semuanya dengan lengkap: nasi, lauk pauk, sayuran dan daging, susu, juga sepotong buah. Sungguh, ini adalah makanan terlezat yang pernah kumakan selama ini. Pia bahkan berkata, “Ini seperti mimpi, Kak.” Tapi Kak Lein membalasnya, “Ini bukan mimpi. Kita sudah begitu lama menderita. Kini Tuhan membalas semua penderitaan kita selama ini.” Aku hanya terdiam. Sebenarnya selama ini, aku tak pernah menganggapi ucapan Kak Lein ketika ia bicara tentang Tuhan. Sekian lama, aku sudah tak lagi berdoa. Doa terakhirku adalah beberapa tahun lalu, saat ibu masih ada. Waktu itu, ibu disiksa 4 orang laki-laki yang menagih hutang padanya. Ia ditampar berkali-kali. Bahkan ketika tubuhnya tersungkur, ia masih menerima tendangan-tendangan yang henti-hentinya. Ia menangis sambil tak henti merintih meminta waktu lagi. Aku yang disuruhnya bersembunyi di bawah tempat tidur, hanya bisa diam-diam menangis dan tak henti berdoa pada Tuhan. Sungguh, aku begitu berharap. Setiap kata yang keluar dari mulutku adalah tangisan ibu, setiap jedanya adalah rintihan ibu, dan setiap air mataku adalah darah ibu. Tapi Tuhan tak juga datang. Sampai para laki-laki itu menggantungnya di jendela, Tuhan tetap tak pernah datang. Tapi hari ini, aku mengamini kata-kata Kak Lein. Bahkan ketika ia meminta kami mendoakan pemilik panti ini, aku ikut mendoakannya diam-diam. Tapi, hanya beberapa hari tinggal di sini, aku sudah merasa beberapa keanehan. Sebenarnya aku mulai merasakannya saat kami makan bersama anak-anak lainnya di ruang makan. Kupikir, mereka terlalu diam, tak seperti kami yang terus bicara. Aku bahkan merasa mereka tak berbahagia seperti kami. Saat di kamar, kutanyakan apa yang kurasakan pada Kak Lein. Dan Kak Lein hanya menjawab singkat, “Mungkin mereka hanya bosan.” Aku tak mengerti. Bagaimana bisa mereka bosan? Di sini semuanya sempurna. Kamarnya bagus, makanannya pun enak. Jadi, aku tak bisa mengerti bagaimana mereka bisa bosan? Sampai suatu hari, tiba pemeriksaan kesehatan untukku. Aku dibawa ke bagian belakang gedung yang menguarkan bau obat begitu tajam. Beberapa dokter dan perawat kemudian memeriksaku dalam hening. Mereka nampak dingin, dan tak menjawab pertanyaanku. Tapi di akhir pemeriksaan salah satu dokter berkata, “Nona Imari, kau gadis yang beruntung. Terlahir untuk menolong sesama adalah kebaikan. Kau harus bangga terhadap dirimu.” Aku benar-benar tak tahu maksud kalimat itu.
Perasaanku semakin yakin, saat Kak Lein mulai berubah. Di hari-hari awal, Kak Lein selalu bersenandung dan menceritakan padaku apa pun yang dilihatnya. Tapi kini, Kak Lein lebih banyak diam. Aku bahkan mendengar ia menangis diam-diam di suatu malam. Aku ingin sekali bertanya apa yang terjadi, tapi aku memilih diam. Kupikir kalau Kak Lein tak bercerita, itu artinya ia memang tak ingin aku tahu.

Di hari lainnya, aku mendengar Kak Lein berteriak-teriak di ruang lain. Aku benar-benar tak tahu apa yang membuatnya sangat marah. Walau pun usinya baru 13 tahun, ia sangat dewasa, karena sejak lama merawat kami. Aku ingat, ia yang pertama kali memberikan makanan saat aku menangis karena kelaparan di jalanan. Ia juga yang mengajakku berteduh di rumah tua itu, dan mengenalkanku pada Cia dan Pia. Sejak itu, aku selalu menganggapnya sebagai pengganti ibu. 

Maka itulah, kali ini aku tak lagi diam. Kutanyakan padanya apa yang terjadi. Tapi Kak Lein hanya menjawab, “Tak ada apa-apa.”

Saat itulah baru kusadari Cia tak lagi ada di dalam kamar. Gadis yang umurnya sama denganku, memang selalu diam. Tapi aku selalu tahu kehadirannya di dekatku. Jadi aku pun bertanya, “Ke mana Cia?” 

Kak Lein terdiam sesaat, sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang sudah mengadopsinya.”

Aku tentu senang Cia mendapatkan keluarga baru. Tapi, kenapa ia tak berpamitan padaku? 

Keanehan semakin bertambah, saat tiga hari kemudian, giliran Pia yang tak kutemukan. Saat kutanyakan, kembali pada Kak Lein hanya menjawab pelan. “Ia sudah mendapatkan keluarga baru.”

Entah kenapa, kali ini aku tak bisa mempercayai jawaban Kak Lein. Bukankah ia seharusnya gembira menyampaikan kabar itu? Tapi kenapa malah bersedih? 

Jadi aku kemudian keluar kamar dan menanyakan pada seorang yang kukenal di ruang makan bersama. Namanya Sian, bocah 10 tahun yang suaranya selalu terdengar murung. “Selama ini, kau mungkin bersedih karena tak bisa melihat. Tapi percayalah, sekarang kau beruntung, karena tak bisa melihat!” ujarnya.

Aku tak tahu apa maksud kalimat Sian. Kenapa ia membawa-bawa kebutaanku? Sungguh, ini membuatku tak mengerti. 

Hingga suatu kali, Kak Lein membawanku mendekati jendela kamar, yang kokoh tanpa celah. “Jangan bersedih karena Pia, dan Cia tak ada lagi di sini,” bisiknya. ”Nanti, bila suatu saat aku juga tak ada, aku ingin kau tetap gembira. Dulu, kau sering duduk di balik jendela seperti ini, bukan? Menatap halaman rumah tua kita. Kau bilang, bila kau kesepian, karena kami belum pulang, kau selalu membayangkan kami bermain di sana? Sekarang, aku ingin, kau bayangkan itu!”

“Tapi aku tak mau berpisah dengan kalian,” bantahku pelan. “Selama ini, kita selalu bersama...”

“Kita tak bisa terus di sini. Ruangan ini harus terus dibagi. Kau tahu bukan, di luar sana banyak anak-anak seperti kita, tak berorang-tua dan kedinginan di jalanan. Kita harus pergi pada waktunya, agar tempat kita bisa digantikan orang lain.”

“Tapi... apakah ada yang menginginkanku, Kak?”

“Tentu saja ada. Selalu ada yang mengiginkan kita.” Kak Lein membelai rambutku, “Aku sendiri tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi bila aku harus pergi lebih lebih dulu darimu, yakinlah kakak tak pergi ke mana-mana. Duduklah di balik jendela ini! Kakak akan ada di baliknya. Bisa jadi, bersama Cia dan Pia...”

Aku tahu Kak Lein hanya sedang menghiburku. Memang, saat masih tinggal di rumah tua, karena tubuhku yang lemah, aku memang kerap ditinggal dalam rumah tua itu seorang diri. Kadang, Kak Lein, Pia dan Cia tak pulang seharian. Dan aku, selalu menghibur diriku dengan duduk di balik jendela, membayangkan mereka ada di situ, tertawa-tawa gembira. Tapi itu dulu! Di akhir-akhir kami di sana, aku sudah tak melakukannya lagi.

“Jadi jangan bersedih, kalau aku –atau kawan-kawanmu lainnya– tiba-tiba harus pergi,” tambah Kak Lein. “Pikirkan saja, kami sebetulnya hanya pindah dan berkumpul bersama di balik jendela ini.”

Beberapa hari kemudian, Kak Lein tak lagi bisa kutemui. Aku mencarinya ke mana-mana, tapi ia seperti lenyap begitu saja. Tak ada satu pun dokter, perawat dan petugas panti yang melihatnya. 

Di kamar, aku diam-diam berjalan menuju jendela di mana beberapa hari lalu aku bicara dengan Kak Lein. Entah kenapa, kubayangkan Kak Lein di sana, bersama Pia dan Cia. Tapi tentu saja batinku tak bisa dibohongi seperti itu. Aku tersenyum menyadari kebodohanku yang telah menganggap serius ucapan Kak Lein.

Tiba-tiba terdengar suara Sian, “Apa yang sedang kau cari di situ?”

“Aku... hanya berpikir di balik jendela ini...” jawabku dengan ragu, “bisa kutemui Kak Lein... ” 

Sian mendengus, “Tentu saja tak ada apa-apa di balik jendela itu! Kakakmu hanya sedang menghiburmu. Ia tak ingin kau ketakutan!”

“Ketakutan?”

“Kau ini benar-benar tak tahu apa-apa, ya?! Kemarin adalah giliran kakakmu dioperasi. Mata dan jantungnya diambil untuk didonorkan pada salah seorang donatur panti ini.”

Aku terdiam tak mengerti. “Tapi... kalau Kak Lein mendonorkan mata dan jantungnya, lalu bagaimana ia...” Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Tubuhku tiba-tiba terasa kaku. Seketika teringat olehku ucapan dokter beberapa waktu lalu: Nona Imari, kau gadis yang beruntung. Terlahir untuk menolong sesama adalah kebaikan. Kau harus bangga terhadap dirimu... 

Apakah itu yang membuat Kak Lein tak lagi bisa kutemukan? Sama sepeti yang terjadi pada Cia dan Pia?

“Kini kau sudah tahu tempat macam apa di sini kan? Tempat ini adalah neraka! Orang-orang kaya menanam donasi besar dengan harapan ia dapat mengambil buahnya sewaktu diperlukan!” 

Aku tercekat. Masih tak bisa kupercaya apa yang barusan kudengar. Tapi Sian tak punya alasan untuk mengarang-ngarang cerita seperti ini. Dari nada suaranya, aku tahu kalau ia sendiri bersedih dan sangat ketakutan.  

Sebelum meninggalkanku, Sian sempat berkata. “Dulu aku pernah berkata kalau kau beruntung karena tak bisa melihat, kan? Itu karena biasanya, organ pertama yang mereka ambil... adalah mata.”

Tubuhku bergetar. Air mataku luruh begitu saja. Kata-kata Sian begitu menakutkan. Kubayangkan apa yang terjadi pada Cia, Pia dan Kak Lein, dengan tubuh mereka yang tak lagi lengkap.

Detik itu juga, aku tersungkur di lantai. Saat itulah perlahan, aku seperti mendengar tawa-tawa samar di balik jendela. Ini membuatku merangkat ke sana. Dari balik jendela, aku hanya melihat kegelapan seperti biasanya di sana. 

Tapi suara Kak Lein kemudian kudengar, juga suara Pa dan Cia. Mereka seperti memanggil-manggilku. Inilah yang membuat ketakutanku sirna. Aku tersenyum membayangkan mereka ada di sana. Aku bahkan tanpa sadar sudah menyentuhkan dua telapak tanganku di kaca jendelanya...

Namun saat itulah sebuah suara kudengar dari ambang pintu, “Nona Imari? Siapkan dirimu! Hari ini adalah giliranmu.” 

1 komentar: